Posted by: nursafri | May 5, 2008

Perbedaan antara (Bahasa) Indonesia dan Malaysia

Freddy Kirana Kalidjernih
Staf Pengajar Program Pascasarjana-Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia

Kolom berjudul ”Bahasa Indonesia = Bahasa Melayu” karya Soenjono Dardjowodjojo (Tempo, edisi 24-30 Maret 2008 ) menarik untuk dicermati. Selain menyorot perbedaan tajam antara bahasa Indonesia dan bahasa Malaysia, kolom itu menyinggung perkembangan ”kebangsaan” yang berbeda yang mempengaruhi perkembangan bahasa di kedua negara. Menurut Soenjono, penyebabnya adalah perbedaan filosofi akibat penjajahan dan kemajuan ekonomi yang berbeda. Benarkah kedua faktor itu menjadi pemicu perbedaan bahasa Malaysia dan Indonesia?

Kita dapat saja menerima argumen bahwa kolonialisme telah menyebabkan masyarakat kolonial dan pascakolonial (subaltern subject) menjadi lebih mudah dihegemoni, tetapi cenderung tidak memiliki posisi kuat untuk menghegemoni pihak luar. Akan tetapi, tidak benar bahwa Malaysia adalah satu-satunya negara yang pandangan hidup (bekas) penjajahnya masih mempengaruhi bahasa dan sikap berbahasa. Bahasa Malaysia memang banyak menyerap kata dan lafal bahasa Inggris, misalnya sivik (civic), akta (act), dan radio (lafal: reidio). Akan tetapi, bahasa Indonesia juga masih menyerap unsur-unsur bahasa Belanda. Misalnya, persekot, insinyur, dan verboden. Bahasa Indonesia juga meminjam unsur bahasa Inggris, tanpa kita harus dijajah Inggris selama berpuluh-puluh tahun, seperti komputer, laptop, CD-ROM, dan download.

Kalau memang benar pernyataan Soenjono bahwa ”… dengan ekonomi yang kini lebih maju dan tata negara yang lebih tenteram, mereka tidak lagi merasa perlu mengikuti jejak kita, termasuk pengembangan bahasa dan budayanya”, mengapa mereka masih perlu meminjam dan mengklaim media tradisional Indonesia, seperti Reog Ponorogo dan lagu Rasa Sayange? Suatu komunitas yang memiliki ilmu, teknologi, ekonomi, dan politik yang kuat memang bahasanya juga lebih mudah menjadi panutan atau mempengaruhi bahasa komunitas lain, seperti bahasa Jerman yang mempengaruhi bahasa Belanda atau kata-kata bahasa Prancis yang diserap ke dalam bahasa Inggris di masa lalu. Demikian juga, di era globalisasi, informasi dan pengetahuan lebih mudah lintas batas. Negara yang bertetangga akan cenderung saling meminjam bahasa dan budaya masing-masing.

Dalam pengembangan bahasa Indonesia, tentu sah saja jika kita meminjam unsur bahasa lain untuk memperkaya bahasa kita. Seperti bahasa Malaysia, bahasa Indonesia akan terus dipengaruhi oleh bahasa Inggris sebagai bahasa internasio-nal. Sayangnya, sementara orang Malaysia tidak segan-segan menyerap unsur tertentu dari bahasa Inggris, masih banyak orang Indonesia yang enggan memakai kata dan struktur tertentu sebagai padanan bahasa Inggris. Padahal kita tahu hal itu sulit ditolak karena banyak bahan yang kita terjemahkan dari bahasa Inggris. Sementara itu, struktur bahasa Indonesia tidak serumpun dengan bahasa Inggris.

Misalnya kata ia untuk dijadikan pasangan it, sedangkan dia untuk he dan she. Dalam bahasa Malaysia dapat ditemukan ekspresi sebagai berikut: ”Pendidikan sivik dan kewarganegaraan telah diperkenalkan semula sebagai satu pelajaran pada tahun 2005. Menelusuri analisis dokumen-dokumen sukatan mata pelajaran ini, secara nyata ia memberi tumpuan utama pada isu perpaduan, patriotisme, dan pemahaman kepelbagaian budaya masyarakat Malaysia.” Banyak ahli bahasa di Indonesia yang masih mengharamkan pemakaian ia sebagai penunjuk referensial (anafora) dalam posisi seperti dicontohkan kalimat di atas. Sudah waktunya kita menerima cara pengungkapan demikian agar kita tidak perlu mengulang kata-kata secara tidak efisien.

Apa yang disinyalir Soenjono bahwa semua bunyi [a] bahasa Indonesia diucapkan sebagai bunyi pepet [e] pada akhir kata terbuka bahasa Melayu di pelbagai bahasa Melayu di Indonesia ternyata tidak lagi sepenuhnya dipegang teguh akhir-akhir ini. Semua bergantung kepada sang penutur, dari mana dia berasal, serta konteks tuturannya. Sehubungan dengan ihwal sosiolinguistik ini, yakni perspektif kepentingan ”nasional” atau ”bahasa nasional”, observasi dini saya menunjukkan bahwa penutur bahasa Melayu di Kalimantan Barat (terutama mereka yang pernah belajar bahasa Indonesia di sekolah), sebagai contoh, mulai menggunakan kata, lafal, dan struktur bahasa Indonesia (menariknya, juga bahasa gaul Jakarta di kalangan orang muda). Ini tentu tidak dimaksudkan sebagai suatu ”promosi” untuk mematikan bahasa daerah.

Ihwal ini juga kita catat dalam bahasa Betawi. Orang Betawi Kemayoran dan Karet atau Cipete bisa saja berbeda dalam mengucapkan [a], misalnya, pada kata ke mana (ke mane), mengapa (mengape), dan ya (ye), termasuk dengan intonasi yang berbeda, atau dalam memilih antara nggak dan kagak, serta ’kan dan ’pan.

Kita tidak perlu berkecil hati seandainya orang Malaysia enggan meminjam unsur bahasa Indonesia. Yang perlu dikhawatirkan adalah bahwa Malaysia maju bukan sekadar karena ihwal filosofi penjajah, tetapi negara itu memiliki nation-of-intent atau national intent (cetak biru tujuan nasional?) yang jelas dan tegar seperti yang disinyalir Shamsul Amri Baharudin, Institut Alam dan Tamadun Melayu, Universiti Kebangsaan Malaysia. Sementara itu, Indonesia tidak memilikinya sehingga bisa jadi ihwal ini menyumbang kepada kesulitan dan kebingungan dalam menata negara dan bangsa satu dasawarsa terakhir.


Leave a comment

Categories