Posted by: nursafri | November 17, 2008

Nge-blog lagi…

Setelah lama sekali ditinggalkan, dan sampai lupa pass-nya.

Semoga kali ini bisa sering-sering disini..

 

Nge post apalagi yaa..

Posted by: nursafri | May 12, 2008

Papan Peringatan/Larangan

Majalah TEMPO Edisi. 12/XXXVII/12 – 18 Mei 2008

Kasijanto Sastrodinomo*
Papan Peringatan/Larangan

Saya teringat sisipan stiker bonus majalah Aktuil (1972) yang bertuliskan ”Awas yang punya anjing galak!” Padahal biasanya yang tertulis di rumah-rumah orang yang memelihara anjing adalah ”Awas (ada) anjing ga­lak,” seperti halnya Beware the dog di negeri orang. Stiker itu memang hanya ekspresi gurauan anak-anak muda. Tetapi pesan yang tertangkap di baliknya adalah kita mungkin tak terbiasa dengan peringatan/larang­an yang sewajarnya sehingga diperlukan semacam ejekan atau ”tegur­an” yang lebih keras. Read More…

Posted by: nursafri | May 12, 2008

Selamat

Minggu, 11 Mei 2008

Selamat

Hidup adalah perbuatan, begitu iklan di televisi, seolah mengajak kita berbuat sesuatu untuk melawan kemiskinan.

Putu Setia

Selamatkan Indonesia, begitu judul sebuah buku. Apakah Indonesia sudah mau hancur?

Ada ayah yang tega membunuh anaknya dengan racun serangga karena tak kuat menanggung biaya hidup. Ada ibu yang juga membunuh anaknya karena tak sanggup memberi makan. Ada satu keluarga yang meninggal karena kelaparan. Artinya, ada yang sudah hancur-hancuran mempertahankan hidup, lalu mengakhiri hidup, baik disengaja maupun tidak.

Hidup adalah perbuatan, begitu iklan di televisi, seolah mengajak kita berbuat sesuatu untuk melawan kemiskinan. Dengan cara apa? Hak seseorang untuk memilih caranya. Ada yang dengan jeli mencatat angka kemiskinan itu, lalu angka dirangkai dengan kalimat, dan dengan sejumlah uang yang pasti nilainya besar, kalimat itu ditayangkan di berbagai televisi. Ada yang memasang baliho besar di berbagai sudut kota, tentu dengan biaya besar pula. Ada yang mendirikan partai dengan janji meniadakan kemiskinan. Ada yang pergi ke berbagai daerah, membagi baju kaus kepada banyak orang dengan niat yang tidak lagi sembunyi, agar ia dipilih sebagai presiden, kelak.

Jutaan atau miliaran uang dihamburkan untuk tayangan iklan televisi, baliho, kunjungan ke daerah, sebagai langkah untuk “melakukan perbuatan” memerangi kemiskinan. Tetap saja ada orang bunuh diri karena tak mampu berobat ke rumah sakit, ada anak yang gantung diri karena tak mampu membayar uang ujian negara–yang di pusat disebut gratis itu. Banyak orang tetap kelaparan. Padahal orang sudah “berbuat”. Kalau begitu, pastilah “perbuatan” itu keliru. Kekeliruan yang disadari.

Selamatkan Indonesia, barangkali yang harus dilakukan adalah niat baik dan langkah nyata. Kalau memang mau membantu petani yang miskin untuk memasarkan cabai keriting, datanglah dengan wujud nyata ke pedesaan, bukan datang di layar televisi. Kalau membantu rakyat yang lapar, berilah mereka beras, bukan memberi sebuah kaus oblong yang mengerut sekali cuci sambil meminta penerima kaus memajang lima puluh bendera partai di jalanan. Biaya membuat dan memasang baliho mungkin bisa diganti dengan obat-obatan dan disebarkan ke penduduk yang terserang diare, demam berdarah, dan sebagainya.

Bukankah itu tugas mereka yang berkuasa? Kenapa harus membantu mereka? Bukankah semakin parah kehidupan rakyat, semakin beralasan untuk menurunkan orang yang berkuasa? Ini benar, tetapi inilah “kebenaran yang salah kaprah”.

Salah kaprah rupanya jadi gaya hidup. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sudah memutuskan akan menaikkan harga bahan bakar minyak. Sebelumnya, beliau berjanji tak akan menaikkan harga itu sampai tahun ini. Ini bukan contoh salah kaprah, ini adalah “perubahan”, bukankah sebelum menjadi presiden beliau berjanji melakukan perubahan? Tepatnya, ucapan yang berubah-ubah. Yang salah kaprah dari Bapak Presiden ini adalah keputusan penting yang menyangkut kehidupan rakyat selalu disampaikan jauh sebelum pelaksanaannya dengan alasan kehati-hatian. Apa pula yang masih dipertimbangkan? Kalau keputusan masih dalam areal pertimbangan, ya, jangan diucapkan dulu. Begitu diucapkan, harusnya langsung action. Tenggang waktu antara ucapan dan perbuatan membuat persoalan di tengah masyarakat. Ada yang menimbun bahan bakar, ada yang sudah menaikkan harga menyesuaikan dengan harga minyak yang baru. Padahal harga baru masih di mulut sang tokek.

Hidup adalah perbuatan, begitu Soetrisno Bachir berujar di televisi karena terinspirasi sajak Chairil Anwar. Mari berbuat untuk Indonesia yang sejahtera, minimal Indonesia yang selamat.

Posted by: nursafri | May 12, 2008

Ta’ayush

Edisi. 12/XXXVII/12 – 18 Mei 2008

Ta’ayush

Sejarah kebangsaan juga bisa mengandung cerita kekejaman, meskipun sebuah bangsa semestinya dibangun dari ta’ayush.

Ta’ayush adalah kata Arab yang berarti ”hidup bebrayan”. Kata ini tak istimewa, tapi terasa luar biasa di sebuah negeri di mana ”bangsa” bukan saja sedang terguncang sendi-sendinya, melainkan juga terancam oleh saling membenci. Negeri itu adalah Israel. Ia bulan ini ber­umur 60, dengan kegundahan yang dulu tak terbayangkan ketika ia dinyatakan berdiri pada 14 Mei 1948.

Di tengah kegundahan itulah pada tahun 2000 sejumlah warga Israel memakai ta’ayush untuk jadi nama sebuah organisasi. Ia terdengar seperti bagian dari sebuah agenda mulia namun mustahil. Tapi statemennya yakin:

Kami—warga Israel keturunan Arab dan Yahudi—hi­dup dikelilingi tembok dan kawat berduri: dinding pemisahan, rasialisme, dan diskriminasi…; dinding penutup dan pengepungan yang mengurung orang Palestina di daerah pendudukan di Wilayah Barat dan Gaza; dinding peperangan yang mengelilingi seluruh penghuni Israel, selama Israel jadi benteng bersenjata di jantung Timur Tengah….

Kami bergabung bersama membentuk ”Ta’ayush”, sebuah gerakan dari bawah masyarakat Arab dan Yahudi yang bekerja sama untuk membongkar tembok rasialisme dan pemisahan dengan membangun sebuah kemitraan sejati antara orang Arab dan Yahudi.

”Kemitraan sejati”—ketika dari Israel tak terdengar semangat yang universal, tapi ”tembok dan kawat berduri”? Ta’ayush di tengah ”pemisahan, rasialisme, dan diskrimi­nasi”? Keraguan seperti itu tak aneh bila terdengar di wilayah itu, yang selalu dekat dengan api kebencian yang murub. Tapi semangat organisasi ini bukan baru. Jauh sebelum Israel lahir, pada 1925 di wilayah Palestina berdiri Brith Shalom.

Organisasi ini—berarti ”Kontrak Perdamaian”—hendak melaksanakan ide-ide Martin Buber (1878-1965), filosof Yahudi yang terkenal karena karyanya Ich und Du (”Aku dan Kau”). Buber bukan saja menentang kekerasan orang Yahudi ketika menghadapi orang Arab, melainkan menjauh dari arus besar nasionalisme dalam Zionisme. Berpindah dari Jerman yang menghalau dan membinasakan orang Yahudi, Buber datang ke Palestina. Tapi, berbeda dengan banyak Zionis lain, ia punya cita-cita tersendiri. Ia tak ingin sebuah republik Yahudi, tapi sebuah negeri dwi-bangsa.

Ia tak punya ilusi idenya akan diterima kaum nasionalis yang menggebu-gebu. Tapi, baginya, perjuangan tak hanya terdiri dari strategi politik. Buber bersuara terus, percaya bahwa kebenaran moral tetap penting biarpun terpojok. Bertahun-tahun lamanya ia dilupakan. Tapi mungkin ini tanda kegundahan Israel, bila kini pemikir­annya menarik perhatian lagi: sebuah kumpulan tulisannya diterbitkan dalam bahasa Inggris pada 2005, dengan judul A Land of Two Peoples.

Tampaknya orang sedang mencari jalan dan harapan, ketika Israel harus memecahkan dilemanya yang terbesar. Republik ini berdiri dengan asas demokrasi (dulu ia demokrasi satu-satunya di Timur Tengah), yang mengakui mandat datang dari suara terbanyak warganya. Namun, sejak kemenangannya yang mengejutkan pada 1967, ketika Israel tak hanya punya sejarah yang panjang tapi juga peta bumi yang luas, republik itu harus mengakui: dulu ada masanya orang-orang Arab binasa atau terusir, tapi kini suara yang datang dari warga yang ”lain” itu makin lama makin penting. Tiap tahun penduduk Arab tumbuh 2,5 persen; penduduk Yahudi hanya 1,4 persen. Sementara itu, Israel sekaligus menduduki wilayah Arab yang hanya bisa ia pertahankan dengan darah dan besi.

Maka kini paranoia, kebencian, dan kehendak destruktif merasuk di mana-mana—sebuah lingkaran setan, sebuah napas iblis, yang diperkuat dengan nama Tuhan di kedua belah pihak. Apa gerangan yang akan terjadi dengan Israel? Tidakkah Martin Buber dulu benar: Israel sebaiknya memang tak hanya semata-mata republik Yahudi? Dengan kata lain, masa depan adalah ta’ayush, dengan pelbagai versi yang mungkin?

Tak mudah untuk percaya. Harapan gelap. ”Israel, seperti masyarakat mana saja, punya anasir yang buas dan mengidap patologi sosial,” tulis David Shulman dalam Dark Hope: Working for Peace in Israel and Palestine, sebuah buku kesaksian yang sedih dari seorang anggota kelompok Ta’ayush. Tapi dalam 40 tahun terakhir orang-orang Yahudi yang destruktif telah dapat tempat, lengkap dengan dalih ideologisnya, dalam ”usaha pemukim­an”. Di pelbagai wilayah, tutur Shulman, orang-orang itu ”punya kebebasan yang tak terbatas untuk menteror penduduk Palestina: menyerang, menembak, melukai, dan terkadang membunuh—semua atas nama apa yang dianggap kesucian tanah ini dan hak eksklusif orang Yahudi atasnya.”

Mereka praktis tak bisa disetop. Tiap usaha mengatasi kebiadaban itu, tiap usaha perdamaian—juga dari peme­rintah Israel sendiri—terjerat dalam apa yang disebut Shulman sebagai ”mesin yang rumit”. Aparat pemerintah sipil, tangan militer dan polisi, jalin-menjalin secara sengaja dan tidak dengan para pemukim Yahudi, yang bisa begitu kejam hingga tega menebarkan racun ke ternak orang Palestina miskin penghuni gua.

Tapi gelap atau terang, harapan tak sepenuhnya padam. Terutama ketika ada orang Arab seperti Sari Nusseibeh, Rektor Universitas al-Quds, yang melawan represi dengan berani justru karena ia memakai cara damai. Atau orang seperti Shulman sendiri, seorang pengagum Gandhi. Atau Ezra Nawi, si Yahudi asal Irak yang menolong orang Palestina tak putus-putusnya: orang yang percaya bahwa manusia, juga dalam bentuk bangsa, perlu ta’ayush.

Untuk itu ide kebangsaan bukan hanya lahir dari ­ingatan—satu tendensi yang dominan di Israel—tapi justru dari kemampuan melupakan. Tak mungkin bangsa akan tegak dengan kesetiaan primordial, apalagi dengan trauma dan saling dendam yang berakar.

Goenawan Mohamad

Posted by: nursafri | May 5, 2008

Perbedaan antara (Bahasa) Indonesia dan Malaysia

Freddy Kirana Kalidjernih
Staf Pengajar Program Pascasarjana-Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia

Kolom berjudul ”Bahasa Indonesia = Bahasa Melayu” karya Soenjono Dardjowodjojo (Tempo, edisi 24-30 Maret 2008 ) menarik untuk dicermati. Selain menyorot perbedaan tajam antara bahasa Indonesia dan bahasa Malaysia, kolom itu menyinggung perkembangan ”kebangsaan” yang berbeda yang mempengaruhi perkembangan bahasa di kedua negara. Menurut Soenjono, penyebabnya adalah perbedaan filosofi akibat penjajahan dan kemajuan ekonomi yang berbeda. Benarkah kedua faktor itu menjadi pemicu perbedaan bahasa Malaysia dan Indonesia?

Kita dapat saja menerima argumen bahwa kolonialisme telah menyebabkan masyarakat kolonial dan pascakolonial (subaltern subject) menjadi lebih mudah dihegemoni, tetapi cenderung tidak memiliki posisi kuat untuk menghegemoni pihak luar. Akan tetapi, tidak benar bahwa Malaysia adalah satu-satunya negara yang pandangan hidup (bekas) penjajahnya masih mempengaruhi bahasa dan sikap berbahasa. Bahasa Malaysia memang banyak menyerap kata dan lafal bahasa Inggris, misalnya sivik (civic), akta (act), dan radio (lafal: reidio). Akan tetapi, bahasa Indonesia juga masih menyerap unsur-unsur bahasa Belanda. Misalnya, persekot, insinyur, dan verboden. Bahasa Indonesia juga meminjam unsur bahasa Inggris, tanpa kita harus dijajah Inggris selama berpuluh-puluh tahun, seperti komputer, laptop, CD-ROM, dan download.

Kalau memang benar pernyataan Soenjono bahwa ”… dengan ekonomi yang kini lebih maju dan tata negara yang lebih tenteram, mereka tidak lagi merasa perlu mengikuti jejak kita, termasuk pengembangan bahasa dan budayanya”, mengapa mereka masih perlu meminjam dan mengklaim media tradisional Indonesia, seperti Reog Ponorogo dan lagu Rasa Sayange? Suatu komunitas yang memiliki ilmu, teknologi, ekonomi, dan politik yang kuat memang bahasanya juga lebih mudah menjadi panutan atau mempengaruhi bahasa komunitas lain, seperti bahasa Jerman yang mempengaruhi bahasa Belanda atau kata-kata bahasa Prancis yang diserap ke dalam bahasa Inggris di masa lalu. Demikian juga, di era globalisasi, informasi dan pengetahuan lebih mudah lintas batas. Negara yang bertetangga akan cenderung saling meminjam bahasa dan budaya masing-masing.

Dalam pengembangan bahasa Indonesia, tentu sah saja jika kita meminjam unsur bahasa lain untuk memperkaya bahasa kita. Seperti bahasa Malaysia, bahasa Indonesia akan terus dipengaruhi oleh bahasa Inggris sebagai bahasa internasio-nal. Sayangnya, sementara orang Malaysia tidak segan-segan menyerap unsur tertentu dari bahasa Inggris, masih banyak orang Indonesia yang enggan memakai kata dan struktur tertentu sebagai padanan bahasa Inggris. Padahal kita tahu hal itu sulit ditolak karena banyak bahan yang kita terjemahkan dari bahasa Inggris. Sementara itu, struktur bahasa Indonesia tidak serumpun dengan bahasa Inggris.

Misalnya kata ia untuk dijadikan pasangan it, sedangkan dia untuk he dan she. Dalam bahasa Malaysia dapat ditemukan ekspresi sebagai berikut: ”Pendidikan sivik dan kewarganegaraan telah diperkenalkan semula sebagai satu pelajaran pada tahun 2005. Menelusuri analisis dokumen-dokumen sukatan mata pelajaran ini, secara nyata ia memberi tumpuan utama pada isu perpaduan, patriotisme, dan pemahaman kepelbagaian budaya masyarakat Malaysia.” Banyak ahli bahasa di Indonesia yang masih mengharamkan pemakaian ia sebagai penunjuk referensial (anafora) dalam posisi seperti dicontohkan kalimat di atas. Sudah waktunya kita menerima cara pengungkapan demikian agar kita tidak perlu mengulang kata-kata secara tidak efisien.

Apa yang disinyalir Soenjono bahwa semua bunyi [a] bahasa Indonesia diucapkan sebagai bunyi pepet [e] pada akhir kata terbuka bahasa Melayu di pelbagai bahasa Melayu di Indonesia ternyata tidak lagi sepenuhnya dipegang teguh akhir-akhir ini. Semua bergantung kepada sang penutur, dari mana dia berasal, serta konteks tuturannya. Sehubungan dengan ihwal sosiolinguistik ini, yakni perspektif kepentingan ”nasional” atau ”bahasa nasional”, observasi dini saya menunjukkan bahwa penutur bahasa Melayu di Kalimantan Barat (terutama mereka yang pernah belajar bahasa Indonesia di sekolah), sebagai contoh, mulai menggunakan kata, lafal, dan struktur bahasa Indonesia (menariknya, juga bahasa gaul Jakarta di kalangan orang muda). Ini tentu tidak dimaksudkan sebagai suatu ”promosi” untuk mematikan bahasa daerah.

Ihwal ini juga kita catat dalam bahasa Betawi. Orang Betawi Kemayoran dan Karet atau Cipete bisa saja berbeda dalam mengucapkan [a], misalnya, pada kata ke mana (ke mane), mengapa (mengape), dan ya (ye), termasuk dengan intonasi yang berbeda, atau dalam memilih antara nggak dan kagak, serta ’kan dan ’pan.

Kita tidak perlu berkecil hati seandainya orang Malaysia enggan meminjam unsur bahasa Indonesia. Yang perlu dikhawatirkan adalah bahwa Malaysia maju bukan sekadar karena ihwal filosofi penjajah, tetapi negara itu memiliki nation-of-intent atau national intent (cetak biru tujuan nasional?) yang jelas dan tegar seperti yang disinyalir Shamsul Amri Baharudin, Institut Alam dan Tamadun Melayu, Universiti Kebangsaan Malaysia. Sementara itu, Indonesia tidak memilikinya sehingga bisa jadi ihwal ini menyumbang kepada kesulitan dan kebingungan dalam menata negara dan bangsa satu dasawarsa terakhir.

Posted by: nursafri | May 5, 2008

Mak

Edisi. 11/XXXVII/05 – 11 Mei 2008

Mak

Pada suatu peringatan 1 Mei, sejumlah buruh ditangkap, termasuk Pavel—dan Maksim Gorky menulis novel Mat’. Pramoedya Ananta Toer menerjemahkannya dengan Ibunda. Saya kira kata yang lebih cocok adalah ”Mak”.

”Ibunda” memang mengandung rasa hormat dan hangat, dan tokoh novel ini, Pelagedia Nilovna, perempuan yang mendampingi anaknya dalam perjuangan buruh itu, patut disebut dengan sungkan dan sekaligus mesra, bak Maria yang melahirkan Yesus. Tapi, dalam bahasa Melayu, ”ibunda” adalah kata panggilan di kalangan atas. Panggilan ”mak” lebih lazim di lapisan rendah masyarakat.

Namun Pramoedya tak sepenuhnya keliru. Pilihan judul itu mencerminkan paradoks karya sastra yang hendak mengobarkan semangat perjuangan: menyatakan diri bagian dari ”realisme” tapi condong ke arah mitologi.

Tokoh Mat’ didasarkan pada kisah nyata Anna Zalomova yang berjalan ke mana-mana menyebarkan pamflet revolusi setelah anaknya ditahan polisi dalam sebuah aksi massa. Tapi, dalam novel ini, sang ibu—dengan iman Kristennya yang masih utuh, dengan cintanya kepada Pavel, sang anak yang berubah dari si bandel jadi pejuang buruh—senantiasa hadir sebagai bayang-bayang sang suci; si mak terasa lebih agung ketimbang manusia sehari-hari.

Di bab terakhir ucapannya fasih-lidah kepada orang ramai, ketika polisi mulai mengepung:

”Untuk mengubah hidup ini, untuk membebaskan semua, membangunkannya dari kematian, sebagaimana aku dibangunkan, beberapa orang telah datang, mereka yang secara bersembunyi-sembunyi telah menyaksikan kebenaran dalam hidup. Bersembunyi-sembunyi, sebab, kalian tahu, tak seorang pun dapat mengucapkan kebenaran itu dengan lantang. … Sejauh ini kebenaran adalah musuh bebuyutan dari si kaya, musuh yang tak akan dapat diajak damai selama-lamanya! Anak-anak kita tengah membawa kebenaran ke dunia.…”

Rangkaian kalimat itu mirip khotbah seorang nabi di depan kenisah: kata ”kebenaran” disebut berkali-kali. Dan ketika akhirnya polisi menyerbu, Pelagedia Nilovna tak berhenti. Perempuan ini seakan-akan martir yang tak bisa luka.

Pendek kata, ia tokoh ideal; ia lahir dengan takdir yang didesain sang pengarang. Mungkin itu sebabnya novel ini tak punya banyak kelok yang rumit tak disangka-sangka. Sekali kita tahu pesan yang hendak disampaikan Gorky, kita segera temukan garis lurus antara bab pertama yang melukiskan kehidupan kumuh kaum proletar dan bagian akhir yang menunjukkan kegagahberanian.

Mungkin itu pula sebabnya novel yang begitu menggugah ketika dibaca di awal abad ke-20 di Rusia, di awal abad ke-21 ini akan disambut dengan satu tarikan napas: tak ada yang baru di situ.

Zaman memang tak seperti dulu. Kini mitos kian goyah, realisme problematis. Kini manusia adalah ”orang”, makhluk yang lebih mengasyikkan tapi juga menjengkelkan. Lebih dari satu dasawarsa setelah Gorky menuliskan novelnya, Freud menunjukkan bahwa kita semua (juga para nabi dan pahlawan) punya bawah-sadar yang penuh nafsu, naluri, dan hasrat kenikmatan. Kini kita lebih skeptis memandang pokok & tokoh.

Dan apa arti ”realisme”, jika ”realitas” kian disadari sebagai dunia hasil konstruksi yang didukung bahasa sendiri?

Dalam Bab XIX, Pavel, buruh muda yang akhirnya jadi kebanggaan maknya, berdiri di samping bendera merah yang berkibar: ”Kawan semua! Kita telah putuskan untuk menyatakan secara terbuka siapa kita; kita junjung bendera kita hari ini, bendera nalar, kebenaran, kebebasan!”

Begitu meyakinkankah ”nalar”?

”Hidup rakyat pekerja!” Pavel berseru pula, dan ratusan suara menyahut, ”Hidup Partai Pekerja Sosial Demokrasi, partai kita… ibu rohani kita.”

Bagaimana mungkin Partai jadi ”ibu rohani”?

Menjelang Revolusi Oktober 1917, ”nalar” dan partai sebagai ”ibu rohani” adalah bagian dari iman gerakan Bolsyewik. Tapi, September 1980, kaum buruh Polandia mengibarkan gerakan mereka, Solidarnosc, yang menentang Partai Komunis yang berkuasa atas nama proletariat. Kita pun diingatkan kembali: kaum pekerja lahir dari kerja—bukan dari ideologi. Ideologi adalah hasil dari ”nalar”. Kaum pekerja tumbuh dari bawah, dari otot dan peluh, sedangkan Partai, ”sang ibu rohani”, akhirnya tak bersentuhan dengan otot dan peluh, elemen jasmani para proletar.

Bahkan sang buruh, yang bukan mitos, tak selamanya ingin menghabisi kapitalisme. Di Indonesia, ada yang lebih menderita: para penganggur, yang tiap kali buruh memperoleh upah minimum yang lebih tinggi, tiap kali pula para tunakarya itu kehilangan kesempatan kerja.

Tapi Gorky bisa dimaafkan. Pada tahun 1907, ketika Mat’ terbit, Partai, ”si ibu rohani”, belum berkuasa dan berubah jadi Bapak yang streng. Baru pada 1918, setelah majalahnya, Novaya Zhin, diberangus Partai, Gorky tahu apa yang ia hadapi; ia menulis sebuah buku yang kritis—yang baru bisa diterbitkan di Rusia setelah Uni Soviet runtuh.

Tapi mengherankan, hari-hari itu bahkan Gorky tak mengingat Engels (dalam Anti-Dühring) yang menunjukkan pentingnya elemen jasmani dalam kerja dan sejarah.

”Kerja”, bukan ”karya”, berasal dari badan yang tegak, ketika manusia tak lagi menggunakan tangannya untuk merangkak. Tangan yang bebas itulah yang membentuk kerja: menenun dan meniup serunai, menulis alkisah dan Alkitab. Otak pun berkembang amat jauh, hingga ”nalar” seakan-akan lepas dari jasmani.

Yang jasmani memang tak kekal dan tak pasti. Mungkin itu sebabnya dalam novel ini Si Rus Kecil berseru: ”Kawan-kawan! Kita telah memulai sebuah prosesi suci atas nama Tuhan yang baru, Tuhan Kebenaran dan Cahaya, Tuhan Nalar dan Kebaikan!”

Jangan-jangan ini nostalgia tubuh kepada ”roh”, agama yang ngumpet di balik ”materialisme dialektik”, mitologi yang berbaju ”realisme”. Tak aneh jika para pejuang sering lupa: yang merasa benar dan kekal akan terasing dari sejarah.

Goenawan Mohamad

Posted by: nursafri | May 5, 2008

Hemat Energi

Minggu, 04 Mei 2008
Cari angin

Hemat Energi

# Putu Setia

Setelah satu jam meninggalkan rumah, saya baru ingat belum mematikan lampu di kamar. Itu pun karena radio di mobil menayangkan iklan dari Perusahaan Listrik Negara agar mematikan lampu minimum 50 watt untuk penghematan nasional. Saya menelepon anak saya agar mematikan lampu itu.

“Sekarang Bapak telepon Bupati, itu lampu di halaman kantornya masih menyala,” kata istri saya. Mobil sampai di alun-alun kota yang sudutnya berubah jadi taman. “Telepon lagi Kepala Dinas Pertamanan, bilang banyak lampu masih hidup,” istri saya terus mengoceh. Saya tahu, perintah istri saya bernada sinis, karena itu saya diam saja. Mobil terus melaju.

“Lo, belanja ke mana?” tanya istri saya. “Katanya ke Carrefour, supaya lebih nikmat, barangnya segar,” jawab saya. Istri saya tertawa dengan nada mengejek. “Bapak jangan mengambil alih penyakit para pejabat negeri ini. Katanya berhemat, tetapi membiarkan pemborosan. Swalayan dari negeri asing itu kan boros energi. Tempat parkirnya dingin, eskalatornya banyak, ruangan terang benderang, suhu di tempat sayur dan daging nyaris seperti di kutub. Saking nikmatnya, swalayan milik pribumi sudah gulung tikar, bahkan mau diambil swalayan asing itu. Bagaimana bicara hemat energi kalau kita ikut nikmat dengan pemborosan energi?”

Saya diam, tapi karena lama diam, takut dikatakan tidak merespons, maka saya bicara seadanya. “Ini salahnya pemerintah dan perusahaan listrik, minta berhemat dengan mematikan lampu hanya 50 watt. Tetangga kita kemarin juga mengaku mematikan lampu 50 watt, tetapi minggu lalu pasang lampu empat titik. Ya, syukur pemerintah pekan depan akan mengeluarkan inpres tentang penghematan energi ini, jadi ada dasar hukum yang jelas,” kata saya dengan serius. “Itu hasilnya gombal. Sia-sia karena otak kita sudah boros, kita hanya menyuruh orang berhemat tetapi perilaku kita tak pernah hemat,” jawab istri saya.

Mobil berjalan tersendat. Ada aksi unjuk rasa di depan pompa bensin. Mahasiswa membentangkan spanduk: “Turunkan harga BBM, Pendidikan Gratis, Kesehatan Gratis, Tangkap Wakil Rakyat yang Tak Berpihak ke Rakyat”. Istri saya membuka kaca mobil dan memanggil seorang mahasiswa, oh, ternyata keponakannya. “Kamu ngapain ikut demo? Mikir dong. Dengan harga BBM saat ini saja pemerintah pusing menambah subsidi, itu bisa menyedot anggaran pendidikan dan kesehatan. Kamu mikir juga, kalau wakil rakyat memihak rakyat artinya mereka perlu menyerap aspirasi rakyat ke pedesaan, apa mereka harus jalan kaki, kan perjalanan dinas dibatasi dan ada penjatahan bahan bakar.”

Keponakan istri saya seperti kerbau dungu. “Kan cuma ikut-ikutan saja, Tante,” ia akhirnya menjauh. Untung mobil sudah bisa melaju. Saya pun berbicara pelan: “Ibu sebenarnya memihak siapa, sih? Memihak wong cilik, mahasiswa, wakil rakyat, menteri, presiden….” Belum selesai saya bicara, istri saya langsung memotong: “Memihak akal sehat. Menjelang pemilu ini semua orang akalnya tidak sehat, apakah dia presiden, menteri, apalagi politisi. Semua langkah yang mau diambil untuk memperbaiki situasi dibayang-bayangi dampaknya pada pemilu nanti. Pemilu kan setahun lagi, keputusan harus diambil hari ini.”

Terdengar siaran berita di radio. Gus Dur dicalonkan sebagai presiden di Serpong, dan Gus Dur digusur partainya di Ancol. “Bu, komentari Gus Dur, dong….” saya menggoda istri saya, tapi istri saya diam. “Wah, Ibu juga akalnya tidak sehat, mahasiswa sampai presiden dikomentari, untuk Gus Dur sama sekali tak berani. Apa ini termasuk hemat energi, Bu?”

Posted by: nursafri | April 28, 2008

Binsar’s Story: A Photographer in Aceh

Binsar’s Story: A Photographer in Aceh
By Nursafri, Sophie Boudre, and Wayne Sharpe
(December 23, 2005)

Binsar

His body is relatively small, but his working spirit is extraordinary. His camera is always with him wherever he goes. That’s Binsar Bakkara, a photographer from Associated Press who moved to Aceh to learn photojournalism before the tsunami changed life in that Indonesian province forever.

The Indian Ocean earthquake and tsunami of one year ago devastated coastal regions of several countries, but they were most brutal in Aceh, the northernmost province of Sumatra, Indonesia. Approximately 180,000 people were killed in Aceh province, buildings along hundreds of kilometers of coastline were destroyed, and 500,000 people were made homeless. Many journalists lost their lives as well, and those who survived, like Binsar, a news photographer from the neighboring province of North Sumatra, were tasked with showing the world the aftermath of the tragedy.

Binsar Bakkara spent his childhood minding his family’s cattle and traveling one hour by canoe to his elementary school each day. When he grew up he moved from his village to the city of Medan to major in Communications at the University of North Sumatra. Binsar spent his spare time climbing mountains with other campus nature lovers and dabbling in journalism. He started his journalism career while studying at the university by sending articles to print media in Jakarta, mostly about his climbing trips. After finishing his studies, Binsar was determined to become a photojournalist.

Knowing that journalists, especially photojournalists, must go to where the news is happening, Binsar moved to Aceh in July of 2003. Aceh has never been an easy place to be a journalist. The Free Aceh Movement (known as GAM in Indonesia) fought to separate Aceh from Indonesia for 30 years, until a tentative peace agreement was signed in August 2005. Together, the Free Aceh Movement and the Indonesian national army were responsible for 12,000 deaths. Journalists with the courage to report on this conflict could never be sure if it was the rebels or the army that was trying to kill them when their vehicles were strafed with bullets. Binsar quickly found work as a stringer for Associated Press.

When the tsunami struck, Binsar was having a holiday break in his hometown in North Sumatra. One day after the tsunami he hurried back to Banda Aceh, to find that all of his camera equipment and photographs were swept away by the waves. “Everything’s out of our control, no human being could be able to imagine what happened that day,” was all that he could say about his first day back in Banda Aceh.

Binsar was grateful to be alive, but frustrated to be a journalist in the midst of the story of his lifetime, but without his own cameras with which to work. This all changed when Binsar met the Aceh staff of Internews and one of the founding members of the VII photo agency, John Stanmeyer. VII is a leading photojournalism agency created by seven of the world’s leading news photographers. John Stanmeyer works for the Paris-based agency from his base on the island of Bali, where he runs workshops for photojournalists from around the world. Inspired by his experience photographing the aftermath of the tsunami, John contacted Internews to offer a free spot in his next training course to an Acehnese journalist, if Internews could pay the journalist’s travel and lodging. Internews knew of Binsar and his predicament, and invited Binsar to send what photos he could to John to see if his skills would match with other professionals from Hong Kong and New York who would attend the workshop. John saw great potential in Binsar, and Internews flew him to Bali for the two week intensive seminar.

According to Stanmeyer, not only did Binsar hold his own in the class, he was the star. “He had a difficult start but with solid pushing…he pulled off a brilliant story (about cultural diversity in Bali) that drew huge cheers during the final night’s projects,” Stanmeyer said. After hearing that Binsar lost all of his camera equipment in the tsunami, and while watching Binsar work during a temple ceremony, a photographer from New York pulled John aside one night. He said, “This guy from Aceh, Binsar, really has talent. I watched him work with his camera today and realized he’s got tremendous talent and potential.”

The photographer then handed John a Canon D10 with motorwinder, which John presented to Binsar in Aceh after the workshop.

Stanmeyer feels Binsar stood out in his course because he is exceptionally passionate and so wants to learn more about visual communication. “His experience with Associated Press has been excellent,” John said, “but because Indonesia doesn’t have a broad country infrastructure to teach photojournalism, it was obvious Binsar needed and therefore gained much by being able to attend the workshop in Bali.”

Binsar says he never wept for losing his possessions in the tsunami because thousands of Acehnese lost so much more, including entire families. He says he does find sadness, however, while covering the aftermath of the tsunami in the field. Among photojournalists in Aceh, Binsar is known as “BinSky”, but nobody knows who started that name, and Binsar will not comment on it. Many of his photos have the sky as background; maybe that is why the others call him BinSky.

“I don’t have special dreams of what to become after this,” explained Binsar. “I just want to master photojournalism, not only as personal satisfaction, but also it is my pride to be able to explain facts to the public through photographs.”

When asked why he always keeps his camera with him (even when he sleeps), Binsar shares his most important and hard learned lesson.

“Moments can happen at any time, and no one can predict….”

Nursafri is a radio journalist and former editor with Internews’ daily radio program Peuneugah Aceh, a daily roundup of Rehabilitation and Reconstruction news relayed by 30 radio stations throughout Aceh.
Sophie Boudre was Internews’ Humantarian Training Advisor for Aceh for most of 2005.
Wayne Sharpe is the Director of Internews in Indonesia.

Posted by: nursafri | April 28, 2008

Dominasi Kata Warga

Qaris Tajudin
# Wartawan Tempo

Entah kenapa, kata warga kini digunakan secara membabi-buta. Setiap kali ingin mengatakan orang banyak, ada kecenderungan pers—terutama televisi—menggunakan kata warga tanpa ada perlunya. Misalnya, ketika banjir menerjang pesisir utara Jawa Timur, hampir semua berita di televisi memakai kalimat seperti ini: ”Selain menggenangi ribuan rumah warga, banjir juga merusak ratusan hektar lahan pertanian milik warga.”

Tanpa kata warga, kalimat itu tetap dimengerti, bahkan jauh lebih efisien. Penggunaan kata warga pada kalimat itu, selain mubazir, juga menganggap pembaca atau penonton sebagai orang bodoh, tak tahu bahwa rumah dan sawah itu milik warga. Kalau bukan milik warga, milik siapa? Toh, kita tidak pernah berkata, ”Banjir merusak puluhan kilometer jalan milik negara.”

Selain itu, setiap kali memberikan status pada seorang anggota masyarakat biasa, kata warga selalu menjadi pilihan. Misalnya, soal perampokan, wartawan cenderung menulis begini: ”Menurut seorang warga, perampokan terjadi pada pukul 01.00 dini hari.” Padahal, memakai kata saksi mata atau hal lain yang lebih spesifik akan terdengar lebih tepat dan menambah nilai berita.

Penggunaan kata warga yang berlebihan itu bukan karena kita tidak memiliki alternatif. Dalam bahasa Indonesia ada sejumlah kata yang mirip, antara lain penduduk dan masyarakat. Masing-masing kata tersebut memang memiliki arti yang berbeda. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, warga adalah anggota keluarga atau perkumpulan, masyarakat adalah sejumlah manusia yang terikat oleh suatu kesamaan, sedangkan penduduk adalah orang atau orang-orang yang mendiami suatu tempat.

Demam penggunaan kata warga ini mewabah setidaknya dalam satu dasawarsa terakhir. Di majalah Tempo terbitan 1971 hingga 1994, kata warga tidak dibiarkan sendiri, selalu disandingkan dengan kata lain, misalnya warga kota, warga desa, warga ABRI, warga kompleks. Pemakaian kata warga yang diikuti dengan kelompok atau tempat tertentu memang lebih sesuai dengan arti kata warga menurut KBBI.

Ini berbeda dengan pemakaian kata warga di Tempo Interaktif (dipakai lebih dari 200 ribu kali). Kata warga kerap dibiarkan berdiri sendiri, hingga artinya bukan lagi anggota sebuah komunitas, tetapi berarti sekelompok orang. Misalnya judul berita: ”Warga Kuasai Kantor BPN Balikpapan”, ”Warga Nekat Hendak Menerobos Terowongan”, ”Hade Berharap Warga Tak Terdaftar Bisa Mencoblos”, dan ”Aparat Paksa Warga Menuju Pengungsian”. Pada kalimat tersebut, kata warga menjadi gerombolan ”hantu”, sekelompok orang tanpa identitas yang jelas. Padahal, dengan mengganti kata warga dengan demonstran, korban bencana, calon pemilih, judul di atas akan lebih hidup.

Dominasi kata warga yang luar biasa ini karena kita sudah jarang memakai kata yang lain yang bisa berarti sama seperti masyarakat dan penduduk. Ketiga kata itu dapat dipakai secara bergantian, disesuaikan dengan konteks kalimatnya. Dalam kata masyarakat—dari kata Arab musyarakat yang berarti berserikat—terdapat makna kebersamaan dan persekutuan. Berbeda dengan rakyat—dari kata Arab ra’yat yang berarti gembalaan—yang cenderung bermakna adanya hubungan vertikal, antara yang dipimpin dan yang memimpin.

Kata penduduk punya cerita berbeda. Meski diambil dari kata dasar duduk, kita tidak pernah memakai kata dasar itu untuk arti yang sama. Penduduk berarti orang yang mendiami suatu tempat, tapi tidak pernah memakai kata duduk sebagai kata kerja untuk mendiami suatu tempat. Saya pernah berdebat dengan teman dari Malaysia tentang hal ini. Di awal pertemuan dia bertanya: ”Duduk di mana?” Saya berpikir, orang ini pasti gila, karena sudah jelas saya duduk di hadapannya. Tapi ternyata yang dia maksud adalah di mana saya bertempat tinggal.

Tapi teman saya itu menolak menggunakan kata tinggal untuk arti mendiami. ”Artinya bertolak belakang. Tinggal itu tidak tetap di suatu tempat. Leave dalam bahasa Inggris, bukan live,” katanya. Saya menjawab, ”Kalau kata yang berarti leave, kami menambah akhiran kan, menjadi meninggalkan.”

Dia bertanya lagi, ”Lalu bagaimana dengan meninggal dunia? Kenapa tidak meninggalkan dunia?” Perdebatan bisa lebih panjang, tapi saya memilih untuk tidak meneruskannya. Saya yakin, di sini yang terjadi adalah soal kelaziman, bukan logika.

Posted by: nursafri | April 28, 2008

Terhormat

Minggu, 27 April 2008

Terhormat

Putu Setia

Komisi Pemberantasan Korupsi berencana menggeledah ruang kerja anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Al-Amin Nur Nasution. Komisi memberi tahu pimpinan Dewan, ya, berbasa-basi supaya tidak tegang, meskipun menurut undang-undang itu tak perlu. Toh izin menggeledah sudah ada dari pengadilan. Eh, pimpinan Dewan mencegah, juga dengan menyebut berdasarkan undang-undang. Untuk sementara ruang kerja Al-Amin masih aman. Artinya, belum diketahui apa isi laci mejanya, apa masih ada dolar, entahlah.

Agak mirip meskipun tidak sama. Mahkamah Agung menolak auditor Badan Pemeriksa Keuangan yang akan mengaudit uang perkara yang masuk di Mahkamah. Alasan untuk menolak juga berdasarkan undang-undang, sementara kengototan Badan mengaudit juga berdasarkan undang-undang. Untuk sementara, uang perkara di Mahkamah yang dititipkan oleh pencari keadilan aman adanya. Artinya, di mana uang itu ditaruh, berapa bunganya, siapa mengambil bunganya, tak bocor ke publik.

Begitulah perilaku orang-orang terhormat. Atas nama undang-undang, apa pun bisa dilakukannya. Anggota Dewan bisa bersumpah, mereka sangat setuju korupsi diberantas. Tetapi, begitu dugaan korupsi menimpa anggotanya, mereka bilang jangan digeledah. Dalihnya pun aneh, misalnya, bagaimana kalau ada rahasia negara yang bocor. Sebuah dalih yang membuat rakyat tertawa. Apa perlunya anggota Dewan menyimpan rahasia negara? Mungkin maksudnya ”rahasia keluarga”, siapa tahu ada surat cinta di sana, atau kondom.

Ketua Mahkamah beserta para hakim agung selalu pula menyebutkan, negara ini harus bersih dari segala penyelewengan. Bukan saja penyelewengan hukum, tapi juga penyelewengan administrasi dan keuangan. Namun, kenapa auditor tak boleh memeriksa uang perkara yang berjubel di sini?

Untuk kedua kasus ini, karena mereka adalah orang-orang terhormat dan terpelajar, komisi dan auditor perlu bergerak dengan cara orang bodoh. Kalau memakai cara orang pinter, sampai kapan pun Komisi tak bisa menggeledah ruang kerja Al-Amin, dan auditor tak bisa mengaudit Mahkamah. Undang-undang akan diadu, akan diuji materi, ada somasi, ada praperadilan, bikin peraturan pemerintah lagi, dan berliku-liku. Pada saat itu ruang kerja dan administrasi keuangan sudah bisa dipermak.

Orang bodoh berpikir polos. Pertanyaan: kenapa ruang kerja Al-Amin tak boleh digeledah? Jawaban: karena di sana tersimpan bukti aliran dana dari Bintan.

Pertanyaan: kenapa uang perkara di Mahkamah tak boleh diaudit? Anak kecil pun bisa menjawab (anak kecil kan biasa dianggap bodoh): karena uang ini lebih banyak dipakai bukan untuk kepentingan perkara. Jadi, gebrak saja ruang kerja Al-Amin, rakyat pasti senang. Kalau rakyat senang, mestinya wakil rakyat ikut senang. Kalau auditor tak bisa mengaudit paksa, ya, Badan Pemeriksa Keuangan tinggal menyatakan: disclaimer untuk Mahkamah Agung.

Tak ada pelajaran apa pun yang bisa mempercerdas rakyat dari kedua kasus ini. Hukum tak pandang bulu ternyata hanyalah untuk pencuri ayam, penyolong kambing, dan kasus kriminal yang obyeknya memang berbulu. Begitu menyangkut anggota Dewan, hukum itu terkena pasal: ada bulunya atau tidak. Lebih sial lagi jika bicara masalah keadilan. Di benteng terakhir tempat keadilan, tak ditemukan apa pun soal adil. Yang ada hanyalah makmur untuk sang penjaga benteng. Kalau benteng terakhir sudah begini, bayangkanlah penjaga keadilan di bawahnya.

Mungkin benar, kita terlalu banyak punya orang pinter sehingga keadaan karut-marut. Saatnya kita cari orang bodoh, tapi bijaksana dan lebih terhormat.

Older Posts »

Categories